Wen, Kapan Kamu Menikah?
Status menjomblo, terkadang,
menjadi problematika tersendiri dalam kehidupan kawula muda saat ini. Maklum,
kehidupan kita berada diantara aliran-aliran yang terkadang membuat pikiran
semakin bingung. Aliran kanan mengatakan begini, aliran kiri mengatakan begitu.
Jomblo memang membuat hysteria “galau” semakin menjadi-jadi.
Aku ingin bercerita tentang
status single (tanpa pacar), bukan
cerita masalah galau, tapi tentang masa depan, yaitu pedamping hidup alias
calon istri.
Sebagai orang yang sudah berumur (bisa
dikatakan sudah layak untuk berkeluarga), menikah, mencari calon istri, dan
sejenisnya, menjadi problema utama. Begitupun Aku, padahal, aku masih sangat
muda, malah seperti baru berusia 17 tahun (Modus: pembelaan diri).
Tidaklah mengherankan, saat Ine
(Panggilan untuk ibu tercintaku) mengatakan bahwa sudah waktunya Aku menikah.
Karena itu, tidak menghrankan, bila aku kembali ke kampung halaman, Takengon,
Aceh Tengah, pertanyaan Ine sering membuatku belingsatan. Seribu satu alasan kucari untuk menyenangkan hatinya.
Parahnya, bukan hanya Ine, Awan
(Sebutan kakek dalam bahasa Gayo), juga ikut-ikutan mengompori diriku. Beliau sering sekali menyentil secara halus.
“Kapan saya memiliki cucu baru,” katanya.
Maksud cucu baru adalah, istri
saya. Karena saya cucu Awan.
Maka dari itu, tidak
mengherankan, setiap bertemu Awan, aku kerap mendapat tambahan kata “kuliah”
sebanyak 4 SKS.
Suatu hari, saat aku di kampung
halaman, Ine memanggilku. Lalu aku dipersilahkan duduk didepannya, karena ia
ingin membicarakan sesuatu. Seperti biasa, awal pembicaraan selalu terkait
kuliah. Pertanyaan umum yang sering dilontarkan orangtua kepada anaknya yang
menjadi mahasiswa “tua” di kampus.
“Bagaimana kuliahmu, Wen?”
“Alhamdulillah, lancar Mak. Walau
sebenarnya masih banyak mata kuliah yang tertinggal dan banyak juga yang harus diulang,”
jawabku, sambil senyum cengar-cengir.
Doh ine….ine….. (kataku dalam
hati).
Aku yakin, sebagian besar
mahasiswa sepertiku, saat ditanya kuliah, pasti akan menjawab dengan seribu
satu alasan. Tidak lain untuk pembenaran diri. Cukup mengatakan “baik-baik
saja”.
“Kira kira berapa lama lagi
kuliahmu itu, Wen?“ sambung Ine, sambil menatapku.
“Wah, mungkin sekitar dua tahun
lagi, Mak,“ jawabku dengan semangat sambil menjaga intonasi suaraku, sekedar
untuk menyakinkannya.
Tanpa rasa bersalah Aku katakan saja dua tahun. Seolah-olah
dua tahun adalah waktu yang singkat seperti dua minggu.Begitulah kira-kira aku
menjawab pertanyaan dari Ine. Lagi-lagi, untuk sebuah pembenaran diri!
“Lah, jika dua tahun lagi kuliahmu,
kapan kamu nikah, Wen?” kata Ine.
Gubrak!!!
Sontak seluruh sel yang ada di
dalam tubuh bergejolak, terkejut, panik, kebingungan. Dan efeknya, perutku
terasa mual (bukan karena hamil, ya!), mata terbelalak, jantung berdegup kencang.
Untuk terlihat anaknya sudah
dewasa, aku berpura-pura menggoyangkan kakiku agar tidak terlihat bergetar (walau
sebenarnya tidak sedramatis itu, hehehe…).
Akan tapi, jujur, pertanyaan Ine tadi
sungguh diluar perkiraanku. Andai saja aku tahu, tentu aku sudah mempersiapkan
jawaban dengan sistem pilihan berganda. Misalnya:
Pertanyaan Ine, kapan kamu
menikah?
Jawaban :
a.
Menunggu selesai
kuliah, itupun jika selesai
b.
Jika sudah ada kerja
tetap, itupun jika ada perusahaan bonafit yang membutuhkanku.
c.
Belum ada yang cocok
dimata, dihati, apalagi dibawa jalan ditempat ramai.
d.
Saya akan mengantar
Ine naik haji dahulu, baru saya akan menikah.
e.
Bingung, karena
wanita yang banyak saya kenal rata-rata menggunakan “topeng”, jadi Lizar harus
butuh waktu untuk membuka topengnya.
f.
Semua jawaban salah.
g.
Semua jawaban benar.
Pertanyaan Ine tentang menikah,
sejujurnya, membuat aku sedikit terguncang, buktinya, saat itu aku sempat
mencari benda-benda terdekat, seperti remote tv, asbak rokok, korek api bahkan
kotak rokok yang dapat menjadi pegangan, saking terguncangnya perasaan ini.
Akhirnya, setelah menarik nafas,
aku pun menjawab pertanyaan Ine : “Waduh mak, itu lebih lama lagi, kuliah saja
paling cepat dua tahun lagi”.
Akan tetapi, sebenarnya mudah
saja (dalam hati aku menjawab yang lain), “Jika ada orangtua yang merelakan
anak gadisnya untuk saya nikahi sekarang, dengan kondisi pengangguran, mengapa
tidak?”
Doh ine…ine…. Masih sempat pula
aku berhayal-hayal didepan Ine.
Aku menatap Ine. Dirinya seperti
sedang berfikir mengenai jawabanku tadi. Mungkin Ine berfikir, ada benarnya
juga jawabanku tadi. (Maaf, lagi-lagi pembenaran untuk diriku agar terbebas
dari belenggu ini).
Namun semua perkiraanku salah.
Justru Ine lebih setuju aku menikah terlebih dahulu, setelah itu menyelesaikan
kuliah. “Ine lebih suka kalau kamu menikah dulu baru kemudian menyelesaikan
kuliahmu. Mungkin dengan adanya istri kamu akan lebih giat menyelesaikan
kuliahmu, Wen”.
Gubrak!!!!
Aku benar-benar semakin tak
berdaya kali ini. Tubuhku dalam kondisi yang lebih parah dari sebelumnya, saat
pertanyaan pertama dari ine “Kapan Menikah?”
Mataku nyaris keluar, keringat
dingin pun seakan berlomba-lomba untuk membasahi seluruh ketek ini. Ingin rasanya keluar dan meninggalkan Ine, hanya untuk
mencari udara segar di luar.
Ine terdiam sejenak, kemudian kembali
melanjutkan fatwanya.
“Nah, untuk kriteria calon istri
menurut Ine nih ya, tapi semua terserah sama kamu juga Wen, akan tetapi
usahakan yang sarjana. Memiliki wawasan dan agama yang baik, agar dapat
mendidik anak-anakmu kelak, Wen”.
Mendengar permintaan Ine, dalam
hati aku berteriak; “Mati aku mak, anakmu ini belum sarjana, mak minta menantu
yang sudah sarjana pula”. Aku benar-benar terdiam.
Kemudian Ine melanjutkan
fatwanya,
“Masalah fisik, Ine serahkan
semua sama kamu nakku, tapi kalau
boleh Ine sarankan, carilah yang cantik.” Itu juga demi kebaikan mu.
Aku berguman dalam hati ; “Sudah
sarjana di minta yang cantik pula”.
Aku menerka-nerka, jangan-jangan
fatwa selanjutnya, calon istriku kelak, sudah sarjana, cantik, dan bila bisa
sudah bekerja.
Doh ine.... ine…. (Bagaimana ini)
Untung Ine tidak bisa melanjutkan
fatwanya. Karena, Aisha, adik terkecilku, mulai merengek-rengek karena biskuitnya
habis. Wajahnya belepotan oleh biskuit.
Dalam hati aku berujar ; “Oh
adikku Aisha, engkau memang adekku yang paling mengerti situasi yang tangah
abangmu hadapi ini”.
Sambil berharap-harap cemas,
semoga pembicaraan ini berakhir, aku pura-pura mendiamkan Aisha. Ternyata benar
saja, Ine memintaku untuk membelikan biscuit untuk Aisha.
“Merdeka!!!!” kataku dalam hati,
kegirangan.
Akan tetapi, sebelum aku
beranjak, Ine masih sempat mengeluarkna kata-kata, jika tidak mau dikatakan
sebagai ancaman kecil.
“Ingat itu, jangan lalai lagi,”
katanya sambil menggendong Aisha.
Aku mengangguk.
“Semakin cepat akan semakin baik.”
Sambungnya.
Gubrakkk!!!
Doh ine..ine…. ternyata ini juga
hapal betul dengan slogan calon presiden beberapa waktu lalu. “Lebih Cepat
Lebih Baik”.
Nah, sejak saat itu, aku sering
memikirkan semua perkataan Ine. Aku tahu maksud Ine pasti baik, namun aku belum
siap secara mental.
Seiring dengan berhembusnya
angin, setelah beberapa hari pembahasan tentang wacana pernikahanku benar-benar
berakhir, Ine tidak pernah lagi menyinggung masalah pernikahan.
Setelah hampir selama satu bulan
di kota Takengen, Aku mulai rindu dengan suasana kota Banda Aceh, begitupun
teman-teman, yang selalu menanyakan kapan Aku kembali berkumpul bersama.
Beberapa hari sebelum pulang ke
Banda Aceh, Aku mampir untuk menjenguk Awan. Meski ingatannya sudah berkurang, namun
ia tidak lupa menanyakan juga tentang hal kapan aku menikah, namun kali ini aku
hadapi dengan santai.
“Ningko nge ke ara tenelen?” katanya dalam bahasa Gayo.
(Kamu tunggu apa lagi? sudah ada
yang di tandai?)
Berpura-pura tidak tahu, Aku balik
bertanya “Tenelen hana, wan?” (Apa
yang di tandai kek?)
“Yah, khe tenelen ken kumpu ku, cumen enti arap nge ken tene pelen,
teiren n ye kerje! wan tengah morep aku ni” jawab Awanku.
(Ya tanda untuk cucu Awan lah.
Cuma jangan hanya sekedar di tandai,
tapi terus dinikahi selagi kakek masih hidup ini).
Doh ine…ine….. (lagi-lagi aku
terjebak).
Aku terdiam sejenak, lalu aku pun
menjawab permintaan Awan.
”Aku gere siep len, Wan.” (Aku belum siap Kek..).
“Gere siep hanahe ken ningko? Umah nge ara, empos pe nge ara, sanahe len
si kurang?” ujar Awanku. (Belum siap
bagaimana? rumah sudah punya, kebun pun ada, apa lagi yang kurang?).
Mendengar si Awan berbicara
seperti itu akupun terdiam. Sumpah, tidak adalagi kata-kata yang dapat
kugunakan untuk membela diri.
Lagi-lagi aku menggunakan jawaban
pamungkas. “Saya harus menyelesaikan kuliah terlebih dahulu, Wan”.
Begitulah kira-kira cerita
singkat ketika aku sedang berada di tanah kelahiran, Takengon, selama sebulan
lebih.
Parahnya, saat itu pula banyak
gosip beredar, jika Aku akan segera menikah, bahkan lebih fatal, banyak
mengatakan aku sudah memiliki istri yang tengah mengandung.
Tapi, aku tetap yakin, aku akan
memberikan seorang menantu yang terbaik untuk Ine. Namun bukan untuk saat ini,
karena aku memang masih dalam proses belajar, yaitu proses pendewasaan untuk
bertanggungjawab.
Doh ine…ine…..
Penulis: Mahlizar Safdi
Editor : Mister X
0 komentar:
Posting Komentar