NTAH APAPA

CAPTAIN AND A GENTLEMAN (KAPTEN DAN PRIA SEJATI) BAGIAN 13

Autobiografi Zanetti Part XIII : 
THERE IS ONLY INTER 

Dan kita mengingat pengacara Prisco/ dia mengatakan bahwa Serie A ada di dalam DNA kita/ kita tidak pernah membeli kejuaraan/ dan kita tidak pernah berada di Serie B. Elio "C'e solo L'Inter"


Saya tidak akan pernah lelah untuk mengulang : Inter berbeda dengan tim lainnya. Di DNA kita, barangkali ada sedikit dosis antara baik dan buruk. Inter adalah jenius dan nekat. Inter adalah penderitaan. Inter adalah kesakitan dan kegembiraan. Dari Inter, Kau bisa berharap dan mendapat kebalikannya. Kemenangan yang mustahil dan kekalahan yang datang melintas dari pertandingan di dalam hidupmu dan kekosongan yang tidak terbayangkan. Fans Inter ini telah terbiasa menderita, tapi tidak pernah menyerah, tidak pernah melompat dari kapal ketika dibutuhkan. Dia memiliki karakter orang argentina. Dia setia, bersemangat, untuk hal yang baik dan buruk. Dia juga bijak, cerdas, dan ironis. Hanya membaca dari banyak blog di internet dan buku yang menceritakan tentang kesengsaraan dan kegemilangan tim yang kita cintai. Yeah, kita semua pasti sudah mengenal interista ini, tanpa keraguan, dia adalah panutan dari semua fans Inter : Peppino Prisco

Dia adalah salah satu orang yang sangat dicintai oleh keluarga besar Inter.

Untuknya, hanya ada Inter. “Di Milan, disana hanya ada dua tim : Inter dan Inter primavera” dia berkata. Motto dia yang lain adalah : “ Inter lahir setelah meninggalkan asosiasi dari AC Milan. Itu menunjukkan seberapa jauh kau bisa mulai dari tanpa apapun.” Atau : “Ketika saya berjabat tangan dengan seorang fans Milan, saya akan segera mencuci tanganku. Dan ketika saya berjabat tangan dengan fans juventus, lalu saya akan menghitung jariku.” Seperti itulah Peppino prisco : merupakan bagian penting dari Inter, pria yang menjalani hidupnya dengan nuansa dari inter. Saya sangat beruntung mengenalnya : dia sangat bersahabat, kritis, selalu ada untuk siapapun. Saya ingat ketika bertemu dengannya dan dia selalu berkata : “You’re my man, i trust you.”

Ketika kami kalah di Derby 6-0 menghadapi Milan, hanya beberapa yang mempunyai keberanian untuk berhadapan dengan kamera. Diantaranya adalah dia, menunggu sepanjang tahun untuk Derby, dapat menerima kekalahan dari siapapun, tapi tidak dengan Milan. Di akhir musim, kami berhasil untuk melampaui Milan di klasemen : Kami di peringkat 5 dan mereka berada di posisi 6. Prisco mengambil bola dan berkata “Sekarang saya mengerti mengapa setiap bertemu dengan fans Milan mereka selalu menunjukkan 6 jari dengan kedua belah tangannya, karena mereka berada di posisi keenam.”

Dia meninggal di Desember pada tahun tersebut. Ini adalah hari yang menyedihkan lainnya, sama seperti hari dimana Giacinto meninggalkan kita. Dengan meninggalnya Prisco, Inter telah kehilangan satu lagi sosok hebat di dalam sejarahnya. Kita sangat merindukannya. Keunikannya tidak tertandingi. Dia telah meninggalkan jejak besar untuk Inter. Kita harus bangga pada sejarah kita, lambang kita, kejujuran yang selalu menjadi karakter Inter. Kita adalah satu2nya tim yang tidak pernah terdegradasi ke serie B. Dan ketika seseorang mengingatkan kita tentang kegagalan, masa gelap kita, mungkin harus diingat bahwa kita tidak pernah terjatuh ke dalam kegelapan dan permainan licik, apa yang telah dibangun dalam sejarah inter adalah hasil dari kerja keras kita, tidak ada bantuan dari luar atau siapapun. “Serie A ada di dalam DNA kami.” Kata Prisco. Dan kemudian menjadi kalimat kunci dalam lagu Inter. Ditulis oleh Elio dan dinyanyikan oleh Graziano Romani. Lagu tersebut meringkaskan apa arti inter yang sebenarnya bagi fans, karena tidak ada tim lain yang seperti Inter. Yang lain, biarkan mereka berbicara. Mereka bisa mencela dengan berbagai cara untuk merendahkan kita, mengkritik pemain dan pelatih Inter, tapi mereka tidak akan pernah memudarkan cinta kita. Karena bagi kita, untuk keadaan yang baik atau buruk, disana hanya ada Inter.
READMORE
 

CAPTAIN AND A GENTLEMAN (KAPTEN DAN PRIA SEJATI) BAGIAN 12

Autobiografi Zanetti part XII : 

MUSCLE OF CAPTAIN  

Untukku, tahun yang baru ini dimulai dengan berita yang menyenangkan. Setelah bertahun-tahun karirnya dibaktikan sepenuhnya untuk Inter, Beppe Bergomi memutuskan untuk menggantung sepatu. Bersama dengan sepatu, Lo Zio juga meninggalkan kapten legendarisnya yang telah dipakai selama beberapa musim. Setelah Bergomi adalah Gianluca Pagliuca yang juga meninggalkan Inter, pada saat tersebut menjabat sebagai Vice Captain. Jadi sekarang kami tanpa 2 pemimpin, tanpa 2 pemain yang sangat berpengalaman, dan tanpa 2 pemain besar. Kehormatan untuk menjadi kapten Inter yang baru telah menyentuhku. Di usia 26 tahun, saya menemukan diri bersama ban kapten, pewaris dari grup legendaris seperti Bergomi, Beppe Baresi, Altobelli, Bini dan jauh sebelumnya, Mazzola, Facchetti, Picchi dan Meazza. Orang Argentina yang menjadi kapten di Inter belum pernah ada sebelumnya. Untukku, itu adalah kepuasan terbesar. Hingga hari ini, sepuluh tahun kemudian, mengenakan ban kapten Inter adalah kebanggaan yang tidak terbatas. Sejak pertama tiba di Milan, saya punya perasaan suatu hari nanti akan menjadi interista. Perasaan itu kini telah tumbuh menjadi sangat besar : sekarang saya biru hitam mulai dari kepala hingga kaki. Saya membeli sebuah mobil berwarna hitam, lalu saya menambahkan garis biru di keseluruhan body, dan lingkaran dengan no. 4. Saya juga melakukan sesuatu yang hampir sama di rumah : kamar mandiku dipenuhi ubin dengan warna biru hitam yang membentuk nomor 4. Tapi ini semuanya hanyalah idea bahwa warna ini telah berakar didalam hati dan jiwaku yang dimana saya tidak bisa hidup tanpanya.

Menjadi kapten telah membawa banyak perubahan di dalam prinsipku : mengenakan ban kapten berarti memiliki tanggung jawab yang lebih, ini berarti membimbing sebagai kapten dan contoh bagi rekan tim saya, terutama untuk yang lebih muda.

Musim pertama bersama Lippi telah dimulai. Bagi mereka, kita adalah favorit juara, kami memiliki pelatih yang hebat, dan salah satu skuad terbaik. Di dalam keadaan, tidak bermain di Eropa, kita hanya bisa memikirkan tentang liga. Untukku secara personal, sekali lagi saya berganti posisi : aku bermain di sisi kanan, sebagai gelandang dalam formasi 4-4-2. Pertandingan pertama sangat luar biasa. Kemenangan 5-1 di San Siro menghadapi parma dari Buffon dan Cannavaro dengan aksi berani Zamorano dan goal dari Vieri. Bobo adalah pria yang baik ( dia banyak menolong di dalam yayasan yang saya bentuk ), terlepas dari banyak rumor, kedatangan Vieri telah menambah serangan nuklir : bersamanya disana ada Ronaldo, Zamorano, Baggio, dan Recoba. Selanjutnya, secara perlahan, semua mulai berjalan salah. Tim mendapatkan banyak kasus cedera : Ronaldo, sangat disayangkan, mendapat cedera parah di Giornata 10 menghadapi Lecce ( yang berakhir dengan 6-0 dimana saya juga mencetak goal ) dan hanya bisa kembali bermain di akhir musim. Pemain yang lain juga sering mendapat masalah cedera. Dalam beberapa bulan kami telah terhenti dari perlombaan untuk mengejar scudetto, lalu Lazio menjadi juara. Di Januari, pemain baru telah datang untuk memperkuat tim, semuanya adalah pemain dengan level tinggi : Clarence Seedorf, Adrian Mutu dan Ivan Cordoba. Cordoba, tidak hanya terlibat dalam pertarungan di lapangan, dia juga partner saya dalam berbagai kasus kemanusiaan. Kami berbagi tentang prinsip yang sama : bermula dari ide tersebut, foundation Colombian tercipta. Ini adalah project untuk membantu anak2 terlantar di Kolombia yang kami jalankan bersama dengan istrinya Maria.

Walau dengan kedatangan pemain baru, situasi tidak begitu banyak berubah. Dia adalah pelatih yang bagus, tapi mungkin, sejak tiba di inter, dia tidak bisa beradaptasi sepenuhnya dengan realita yang baru. Barangkali dia masih terikat dengan klub lamanya, yang bagi kami adalah musuh, lawan yang harus dikalahkan. Klasemen di akhir musim, kami berada di peringkat 4 dan memiliki poin yang sama dengan Parma. Hasil imbang tersebut terselesaikan oleh Goal dari Zamorano dan 2 sentuhan ajaib oleh Baggio.

To be continue..
READMORE
 

CAPTAIN AND A GENTLEMAN (KAPTEN DAN PRIA SEJATI) BAGIAN 11

Autobiografi Zanetti Part XI  :

MUSCLE OF THE CAPTAIN 

Musim selanjutnya berlalu dengan meninggalkan begitu banyak harapan. Sekali lagi, Moratti mencoba untuk menyiapkan tim yang mampu bersaing di setiap kompetisi. Banyak pemain besar yang datang, termasuk Roberto Baggio yang telah ditakdirkan untuk menjadi salah satu teman terbaikku.

Pertemanan kami tidak hanya sebatas di lapangan. Kami sering berlibur bersama, di Argentina, dan dia memberiku hadiah yang tidak mungkin dilupakan. Di suatu malam, dia menunjukkan sebuah video dimana ia sedang berburu bersama beberapa ekor anjing. Diantaranya ada seekor anjing yang cantik berjenis labrador. Beberapa hari selanjutnya, saat makan malam. Roby menyuruhku mengikutinya kearah mobil dengan alasan meminta bantuan. Dia membuka pintu, dan melompat seekor anjing dengan ekor yang bergoyang, itu adalah anjing sama yang kulihat di video. “Ini hadiah untukmu” dia berkata. Sejak hari itu, Simba telah menjadi bagian penting di keluargaku.

Sementara itu, kembali ke sepakbola, di pucuk pimpinan tim adalah Simoni, tapi setelah beberapa hari pergantian posisi pelatih telah dikonfirmasi. Walau hasil baik di musim sebelumnya, dan tim juga masih bersaing di liga champion, manajemen memutuskan untuk memecat Simoni, pelatih yang sangat disukai oleh semua pemain, dan yang terpenting, dia adalah interista sejati. Itulah mengapa fans sangat mencintainya. Pengganti dari Simoni adalah Mircea Lucescu. Pria Rumania yang berpengetahuan luas dan juga sangat bersahabat dengan pemain. Sejak dia menjadi pelatih, saya seperti bermain sebagai second striker. Awal yang sangat menjanjikan : kami mencetak banyak goal, terutama di San Siro, dimana hampir semua lawan harus membayar mahal. Kemudian semua berjalan menjadi rumit. Inter tereliminasi di liga champion, menghadapi Manchester united ( goal dari Simeone dibatalkan ) dan perubahan keberuntungan di liga mengantarkan kekalahan2 yang lain bagi kami. Ini adalah musim terburuk untuk Inter selama saya berada disini. Perubahan sama sekali tidak membuat kami senang. Kemudian tim diberi Luciano Castellini, yang pada saat itu menjabat sebagai pelatih kiper, dia diangkat oleh menajemen karena dianggap memiki kemampuan dalam technical. tapi tidak ada peningkatan. Kami mulai kacau dan merasa gugup. Lalu Roy Hodgson kembali datang untuk sisa 4 pertandingan. Dia adalah pelatih yang memberikan kami juara piala UEFA. Inter mengakhiri musim di posisi 8, 24 point tertinggal dari Milan, juara Serie A. Bahkan kita tidak berhasil masuk ke UEFA cup karena kalah menghadapi Bologna di babak play off. Itu adalah tahun bersama 4 pelatih dan menjadi kenangan tergelap selama di Inter. Ini adalah murni kesalahan kami. Mungkin karena tekanan yang terlalu besar, atau mungkin karena terlalu sering berganti pelatih. Moratti, Orang yang sangat mencintai Inter dan tidak pernah menyerah, di musim selanjutnya, dia mendatangkan salah satu pelatih terbaik : Marcello Lippi, mantan pelatih dari rival abadi kita Juventus.

to be continue.....
READMORE
 

CAPTAIN AND A GENTLEMAN (KAPTEN DAN PRIA SEJATI) BAGIAN 10

Autobiografi Zanetti part X : 

PARIS 6 MAY 1998  

Diantara banyak dugaan, kami berada di peringkat kedua pada klasemen Serie A. Untung, kepahitan di Serie A sedikit berkurang dengan rasa manis dari gelar pertamaku bersama Inter. Salah satu kenangan yang paling indah : sebenarnya, kenangan terbaikku bersama tim. Jika cinta pertama tidak bisa dilupakan, itu berjalan sama dengan trophy pertama. Saya selalu menyimpannya di dalam hati, malam pada tanggal 6 May 1998, Parc des princes stadium di paris, final UEFA Cup menghadapi Lazio. Sebuah kesuksesan yang akan membayar kegagalan kami di tahun sebelumnya dan yang terpenting rasa frustasi di Serie A. Kami datang dengan semangat dan determinasi yang tepat, menunggu untuk menunjukkan pada dunia bahwa ini adalah Inter.

Sebelum pertandingan, Simoni telah memotivasi kami 100%. Selama pertandingan, semuanya berjalan dengan sangat luar biasa, mulai dari awal hingga menit terakhir. Saya rasa itu adalah permainan terbaik Inter. Dan tidak mudah, karena lawan kami adalah tim hebat seperti Lazio, yang pada saat itu, Roberto mancini masih bermain disana : beberapa tahun kemudian dia akan menjadi pelatih saya.

Ribuan fans tiba di Paris untuk mendukung kami. Suasana yang sangat luar biasa oleh dua fans Serie A. Ayah saya juga datang, besama dengan keluarga dan semua teman. Bagi saya, itu adalah sebuah motivasi tambahan. Dan tentu saja, semua berjalan dengan sangat baik. Setelah beberapa menit, kita langsung unggul : Goal dicetak oleh Ivan Zamorano, seperti kobra tua di area pinalti. 1-0 hingga turun minum. Setelah istirahat datanglah goal yang mengamankan pertandingan, 2-0. Saya sendiri yang mencetak goal tersebut : Zamorano di menit 60 memberi umpan dengan tandukan, kemudian saya datang dengan berlari dan menendang bola dengan menggunakan kaki kanan bagian luar, mengirimnya ke arah sudut atas gawang dimana Marchegiani tidak dapat menjangkaunya. Ketika melihat bola berada di jaring, saya meledak ke dalam kegembiraan, mulai berlari tanpa tujuan bersama dengan seluruh tim yang coba menangkap saya. Di tribun, ayahku merayakannya dengan teman2 kami, semuanya bergembira layaknya merekalah yang mencetak gol tersebut. Saya fikir itu adalah ( sampai sekarang ) goal terpenting didalam karirku. Itu adalah goal yang mengamankan kami dari usaha Lazio menyamakan kedudukan, Goal yang menghabisi pertandingan. Dan untuk melengkapi kesuksesan, goal ketiga dicetak oleh Ronaldo : 3 kali melakukan dribble di depan Marchegiani dan bola masuk ke dalam gawang.

Pertandingan ini adalah tebusan kami setelah tahun yang penuh kekecewaan, ini seperti awal dari kebangkitan Nerazzurri, permulaan yang baru, Inter yang hebat.

to be continue..
READMORE
 

CAPTAIN AND A GENTLEMAN (KAPTEN DAN PRIA SEJATI) BAGIAN 9

Autobiografi Zanetti part IX : 

PARIS, 6 MAY 1998

Musim ketiga bersama Inter datang dengan harapan yang sangat besar. Dengan kehadiran Ronaldo, permulaan dari karirnya yang singkat dan tidak beruntung, perhatian dari media dan fans mulai fokus pada kita. Dan setelah mengalami kekalahan di final UEFA melawan Schalke 04, saya langsung berfikir ini akan menjadi musim kebangkitan Inter. Mimpi Moratti untuk kembali membawa Inter menjadi klub atas di Italia maupun di Eropa tetap utuh. Presiden kita, terlepas dari banyak kritikan, dia tidak pernah kehilangan antusias dan semangat pada warna ini ; dan cintanya, di akhir, telah terbayarkan.
Selain Ronnie, pemain hebat lain datang di musim ini : El Cholo Simeone, El Chino Recoba, Ze Elias, Taribo West, Ciccio Colonnese, Fransesco Moriero. Kelompok dari Amerika Selatan menjadi lebih besar, tahun sebelumnya, bersama dengan pria perancis Yuri Djorkaeff, Ivan Zamorano bergabung dengan Inter, dia seperti telah ditakdirkan untuk menjadi teman terbaikku. Bersama Ivan, itu adalah pertemanan sejak pertama kali bertemu. Saya berusaha menyesuaikan diri dengannya walaupun fakta bahwa saya berusia 6 tahun lebih muda, untuk membantunya menyesuaikan diri dengan realita sepakbola yang baru. Kita sangat mirip walaupun penampilan kami mungkin akan mengatakan hal yang berlawanan. Kita percaya pada prinsip yang sama. Ivan adalah seorang petarung di lapangan, seseorang yang tidak akan pernah menyerah, seorang prajurit. Bahkan ia memiliki energi yang sama pada banyak kasus kemanusiaan. Dia adalah duta besar UNICEF sekarang, di Chile, dia membuka sekolah sepakbola untuk membantu anak2 yang membutuhkan.
Musim ini, pelatih juga berganti : Roy Hodgson mengundurkan diri setelah kekalahan dari Schalke 04 ( saya ulangi, perselisihan kami tidak ada kaitannya dengan keputusan yan dia buat ) dan yang menggantikanya adalah Gigi Simoni. Banyak dari reporter, saat pertama, meragukan kemampuannya dalam melatih. Simoni segera melenyapkan segala kekhawatiran terhadap dirinya melalui caranya dalam meracik strategi, melalui kepekaan dan kemampuannya memecahkan banyak masalah. Prestasi terbaiknya adalah dia mampu membangun sebuah grup yang kompak dan harmonis. Bersama dengannya saya kembali berganti posisi : dari right back , saya kini bermain di sisi kiri, seringkali bermain di posisi yang berbeda adalah hal yang bisa membuat saya lengkap seperti hari ini dan membuat saya bisa membantu di banyak area dalam lapangan.
Ronaldo adalah permata bagi kami. Saya tidak pernah melihat pemain sehebat dia : mungkin hanya Leo Messi yang mampu menyamai level yang dia miliki. Di tim semua iri terhadap kemampuannya. Kekuatan yang dia miliki, levelnya, kegesitannya di depan mata kami : dia adalah nilai tambah di dalam grup, seseorang yang bisa mengantarkan kami untuk menjadi pemenang.
Di Serie A, bagaimanapun, masih teringat hingga kini jejak pahit yang kami alami. Saya sangat yakin bahwa kita pantas mendapatkan titel ini, tapi ada sesuatu yang aneh terjadi. Hanya setelah beberapa tahun kemudian, dari revolusi calciopoli, bahwa kita menyadari semua usaha yang pernah kita lakukan adalah sia-sia. Apa yang terjadi di musim ini, semua orang mengingatnya. Hal tersebut adalah pinalti yang tidak diberikan kepada Ronaldo dan saat ini terkenal dengan kesalahan terbesar yang dilakukan oleh Iuliano. Di masa tersebut, itu hanyalah sebuah dugaan, lalu di musim panas 2006 , segalanya telah terungkap.
To be continue..
READMORE
 

CAPTAIN AND A GENTLEMAN (KAPTEN DAN PRIA SEJATI) BAGIAN 8

Autobiografi Zanetti part VIII

TAHUN PERTAMA DI BIRU HITAM

Di Lingkungan ini, bagi saya, semuanya menjadi lebih baik setelah beberapa bulan, bahkan dengan fans Inter. Saya bukanlah pemain yang memberi kemenangan ( menjadi striker dan dalam imajinasi banyak orang, segalanya tentang goal dan assist ), tapi secara perlahan saya berfikir telah memenangkan hati banyak orang di Inter, terimakasih untuk determinasi dan keteguhan yang saya miliki. Dan mengapa tidak??, terimakasih juga untuk dribble yang saya miliki. Moment terbaik adalah ketika Curva Nord bernyanyi untuk menghormatiku, hingga hari ini :”Tra i Nerazzurri c’e / un giacatore che / dribbla come pele / dai Zanetti ale!” (“ Disana bersama Nerazzurri / seorang pemain / menggiring bola seperti pele / maju terus Zanetti” ). Mungkin disamakan dengan Pele adalah sedikit berlebihan ( untuk setiap orang Argentina, Maradona selalu berada diatas setiap pemain Brasil ), tapi harus saya akui, nyanyian tersebut telah berada di hati saya dan kapan saja curva nord menyanyikan lagu tersebut, selalu membuat saya merinding.
Bila dilihat dari penampilan individu, tahun pertama sebagai Interista tidaklah terlalu jelek. Tapi bila dilihat dari tim, bagaimanapun, semua tidak berjalan dengan baik. Kami berada di peringkat 7, hasil yang sangat buruk bagi Inter, secara sejarah, tim yang selalu mengincar scudetto. Bagaimanapun, itu adalah tahun pertama Moratti memimpin Inter, seperti yang kita tahu, Moratti sedang berencana membangun sebuah tim yang mempunyai kemampuan untuk menghadapi siapa saja.
Setahun kemudian, segalanya menjadi lebih baik. Tim ini menjadi lebih kuat dan bertahan lama di papan atas liga walaupun trophy tidak kunjung datang. Di eropa, bagaimanapun, kami memiliki keyakinan yang besar. Bersama Hodgson, pelatih yang sangat saya kagumi walaupun pernah ada rumor salah yang mengatakan bahwa Hodson dan saya adalah “musuh”, kami bermain dengan sangat baik. Faktanya, kami mendapat tantangan di final UEFA menghadapi wakil Jerman, Schalke 04. Salah satu pertandingan yang meninggalkan penyesalan terbesar didalam hidupku. Kalah 1-0 di jerman, tapi kami menang dengan skor yang sama di San Siro. Ada begitu banyak tembakan ke gawang selama waktu tambahan, tapi skor tetap tidak berubah dan harus dilanjutkan dengan adu pinalti yang dimenangkan oleh wakil dari Jerman. Disamping kecewa karena kalah, bagi saya, luapan emosi datang. Saat itu, saya meminta maaf bila telah bersikap arogan, satu2nya pertandingan yang membuat emosiku meledak, satu2nya pertandingan dimana perilaku saya sedikit berlebihan. Itu adalah pada saat beberapa menit sebelum extra time berakhir, Bola meninggalkan lapangan dan wasit memberi intruksi akan ada pergantian pemain, di garis lapangan terlihat no.4. Pada saat itu, saya tidak bisa membendung rasa marah, selanjutnya, saya terlibat pertengkaran hebat dengan hodgson, saya tidak mengerti kenapa pelatih menggantikan saya dengan memasukkan Nicola Berti ( penendang pinalti yang lebih baik ). Akhirnya, di ruang ganti, saya meminta maaf dan semua masalah diantara kami terselesaikan dengan jabatan tangan.
Kekalahan di final, bagaimanapun, sama seperti menelan pil pahit. Mimpi akan kejayaan di Eropa bersama Inter hilang hanya karena tendangan pinalti. Final itu membuat kami lebih yakin dan membantu kami untuk mengerti Inter sesungguhnya, di tahun selanjutnya, dapat lebih bersuara baik di Italia maupun Eropa. Dan Moratti, musim selanjutnya, mendatangkan seseorang yang pada masa tersebut dianggap pemain terbaik di dunia : Ronaldo.
To be continue..
READMORE
 

Wen, Kapan Kamu Menikah?


Wen, Kapan Kamu Menikah?

Status menjomblo, terkadang, menjadi problematika tersendiri dalam kehidupan kawula muda saat ini. Maklum, kehidupan kita berada diantara aliran-aliran yang terkadang membuat pikiran semakin bingung. Aliran kanan mengatakan begini, aliran kiri mengatakan begitu. Jomblo memang membuat hysteria “galau” semakin menjadi-jadi.

Aku ingin bercerita tentang status single (tanpa pacar), bukan cerita masalah galau, tapi tentang masa depan, yaitu pedamping hidup alias calon istri.

 Sebagai orang yang sudah berumur (bisa dikatakan sudah layak untuk berkeluarga), menikah, mencari calon istri, dan sejenisnya, menjadi problema utama. Begitupun Aku, padahal, aku masih sangat muda, malah seperti baru berusia 17 tahun (Modus: pembelaan diri).

Tidaklah mengherankan, saat Ine (Panggilan untuk ibu tercintaku) mengatakan bahwa sudah waktunya Aku menikah. Karena itu, tidak menghrankan, bila aku kembali ke kampung halaman, Takengon, Aceh Tengah, pertanyaan Ine sering membuatku belingsatan. Seribu satu alasan kucari untuk menyenangkan hatinya.

Parahnya, bukan hanya Ine, Awan (Sebutan kakek dalam bahasa Gayo), juga ikut-ikutan mengompori diriku. Beliau sering sekali menyentil secara halus. “Kapan saya memiliki cucu baru,” katanya.

Maksud cucu baru adalah, istri saya. Karena saya cucu Awan.

Maka dari itu, tidak mengherankan, setiap bertemu Awan, aku kerap mendapat tambahan kata “kuliah” sebanyak 4 SKS.

Suatu hari, saat aku di kampung halaman, Ine memanggilku. Lalu aku dipersilahkan duduk didepannya, karena ia ingin membicarakan sesuatu. Seperti biasa, awal pembicaraan selalu terkait kuliah. Pertanyaan umum yang sering dilontarkan orangtua kepada anaknya yang menjadi mahasiswa “tua” di kampus.

“Bagaimana kuliahmu, Wen?”
“Alhamdulillah, lancar Mak. Walau sebenarnya masih banyak mata kuliah yang tertinggal dan banyak juga yang harus diulang,” jawabku, sambil senyum cengar-cengir.

Doh ine….ine….. (kataku dalam hati).

Aku yakin, sebagian besar mahasiswa sepertiku, saat ditanya kuliah, pasti akan menjawab dengan seribu satu alasan. Tidak lain untuk pembenaran diri. Cukup mengatakan “baik-baik saja”.

“Kira kira berapa lama lagi kuliahmu itu, Wen?“ sambung Ine, sambil menatapku.

“Wah, mungkin sekitar dua tahun lagi, Mak,“ jawabku dengan semangat sambil menjaga intonasi suaraku, sekedar untuk menyakinkannya.

 Tanpa  rasa bersalah Aku katakan saja dua tahun. Seolah-olah dua tahun adalah waktu yang singkat seperti dua minggu.Begitulah kira-kira aku menjawab pertanyaan dari Ine. Lagi-lagi, untuk sebuah pembenaran diri!

“Lah, jika dua tahun lagi kuliahmu, kapan kamu nikah, Wen?” kata Ine.

Gubrak!!!

Sontak seluruh sel yang ada di dalam tubuh bergejolak, terkejut, panik, kebingungan. Dan efeknya, perutku terasa mual (bukan karena hamil, ya!), mata terbelalak, jantung berdegup kencang.

Untuk terlihat anaknya sudah dewasa, aku berpura-pura menggoyangkan kakiku agar tidak terlihat bergetar (walau sebenarnya tidak sedramatis itu, hehehe…).

Akan tapi, jujur, pertanyaan Ine tadi sungguh diluar perkiraanku. Andai saja aku tahu, tentu aku sudah mempersiapkan jawaban dengan sistem pilihan berganda. Misalnya:

Pertanyaan Ine, kapan kamu menikah?
Jawaban :
a.       Menunggu selesai kuliah, itupun jika selesai
b.      Jika sudah ada kerja tetap, itupun jika ada perusahaan bonafit yang membutuhkanku.
c.       Belum ada yang cocok dimata, dihati, apalagi dibawa jalan ditempat ramai.
d.      Saya akan mengantar Ine naik haji dahulu, baru saya akan menikah.
e.       Bingung, karena wanita yang banyak saya kenal rata-rata menggunakan “topeng”, jadi Lizar harus butuh waktu untuk membuka topengnya.
f.       Semua jawaban salah.
g.      Semua jawaban benar.

Pertanyaan Ine tentang menikah, sejujurnya, membuat aku sedikit terguncang, buktinya, saat itu aku sempat mencari benda-benda terdekat, seperti remote tv, asbak rokok, korek api bahkan kotak rokok yang dapat menjadi pegangan, saking terguncangnya perasaan ini.

Akhirnya, setelah menarik nafas, aku pun menjawab pertanyaan Ine : “Waduh mak, itu lebih lama lagi, kuliah saja paling cepat dua tahun lagi”.  

Akan tetapi, sebenarnya mudah saja (dalam hati aku menjawab yang lain), “Jika ada orangtua yang merelakan anak gadisnya untuk saya nikahi sekarang, dengan kondisi pengangguran, mengapa tidak?”

Doh ine…ine…. Masih sempat pula aku berhayal-hayal didepan Ine.

Aku menatap Ine. Dirinya seperti sedang berfikir mengenai jawabanku tadi. Mungkin Ine berfikir, ada benarnya juga jawabanku tadi. (Maaf, lagi-lagi pembenaran untuk diriku agar terbebas dari belenggu ini).

Namun semua perkiraanku salah. Justru Ine lebih setuju aku menikah terlebih dahulu, setelah itu menyelesaikan kuliah. “Ine lebih suka kalau kamu menikah dulu baru kemudian menyelesaikan kuliahmu. Mungkin dengan adanya istri kamu akan lebih giat menyelesaikan kuliahmu, Wen”.

Gubrak!!!!

Aku benar-benar semakin tak berdaya kali ini. Tubuhku dalam kondisi yang lebih parah dari sebelumnya, saat pertanyaan pertama dari ine “Kapan Menikah?”

Mataku nyaris keluar, keringat dingin pun seakan berlomba-lomba untuk membasahi seluruh ketek ini. Ingin rasanya keluar dan meninggalkan Ine, hanya untuk mencari udara segar di luar.

Ine terdiam sejenak, kemudian kembali melanjutkan fatwanya.

“Nah, untuk kriteria calon istri menurut Ine nih ya, tapi semua terserah sama kamu juga Wen, akan tetapi usahakan yang sarjana. Memiliki wawasan dan agama yang baik, agar dapat mendidik anak-anakmu kelak, Wen”.

Mendengar permintaan Ine, dalam hati aku berteriak; “Mati aku mak, anakmu ini belum sarjana, mak minta menantu yang sudah sarjana pula”. Aku benar-benar terdiam.

Kemudian Ine melanjutkan fatwanya,

“Masalah fisik, Ine serahkan semua sama kamu nakku, tapi kalau boleh Ine sarankan, carilah yang cantik.” Itu juga demi kebaikan mu.

Aku berguman dalam hati ; “Sudah sarjana di minta yang cantik pula”.

Aku menerka-nerka, jangan-jangan fatwa selanjutnya, calon istriku kelak, sudah sarjana, cantik, dan bila bisa sudah bekerja.

Doh ine.... ine…. (Bagaimana ini)

Untung Ine tidak bisa melanjutkan fatwanya. Karena, Aisha, adik terkecilku, mulai merengek-rengek karena biskuitnya habis. Wajahnya belepotan oleh biskuit.

Dalam hati aku berujar ; “Oh adikku Aisha, engkau memang adekku yang paling mengerti situasi yang tangah abangmu hadapi ini”.

Sambil berharap-harap cemas, semoga pembicaraan ini berakhir, aku pura-pura mendiamkan Aisha. Ternyata benar saja, Ine memintaku untuk membelikan biscuit untuk Aisha.

“Merdeka!!!!” kataku dalam hati, kegirangan.

Akan tetapi, sebelum aku beranjak, Ine masih sempat mengeluarkna kata-kata, jika tidak mau dikatakan sebagai ancaman kecil.

“Ingat itu, jangan lalai lagi,” katanya sambil menggendong Aisha.

Aku mengangguk.

“Semakin cepat akan semakin baik.” Sambungnya.

Gubrakkk!!!

Doh ine..ine…. ternyata ini juga hapal betul dengan slogan calon presiden beberapa waktu lalu. “Lebih Cepat Lebih Baik”.

Nah, sejak saat itu, aku sering memikirkan semua perkataan Ine. Aku tahu maksud Ine pasti baik, namun aku belum siap secara mental.

Seiring dengan berhembusnya angin, setelah beberapa hari pembahasan tentang wacana pernikahanku benar-benar berakhir, Ine tidak pernah lagi menyinggung masalah pernikahan.

Setelah hampir selama satu bulan di kota Takengen, Aku mulai rindu dengan suasana kota Banda Aceh, begitupun teman-teman, yang selalu menanyakan kapan Aku kembali berkumpul bersama.

Beberapa hari sebelum pulang ke Banda Aceh, Aku mampir untuk menjenguk Awan. Meski ingatannya sudah berkurang, namun ia tidak lupa menanyakan juga tentang hal kapan aku menikah, namun kali ini aku hadapi dengan santai.

Ningko nge ke ara tenelen?” katanya dalam bahasa Gayo.

(Kamu tunggu apa lagi? sudah ada yang di tandai?)

Berpura-pura tidak tahu, Aku balik bertanya “Tenelen hana, wan?” (Apa yang di tandai kek?)

Yah, khe tenelen ken kumpu ku, cumen enti arap nge ken tene pelen, teiren n ye kerje! wan tengah morep aku ni” jawab Awanku.

(Ya tanda untuk cucu Awan lah. Cuma jangan hanya sekedar di tandai, tapi terus dinikahi selagi kakek masih hidup ini).

Doh ine…ine….. (lagi-lagi aku terjebak).

Aku terdiam sejenak, lalu aku pun menjawab permintaan Awan.

Aku gere siep len, Wan.” (Aku belum siap Kek..).
Gere siep hanahe ken ningko? Umah nge ara, empos pe nge ara, sanahe len si kurang?” ujar Awanku.  (Belum siap bagaimana? rumah sudah punya, kebun pun ada, apa lagi yang kurang?).

Mendengar si Awan berbicara seperti itu akupun terdiam. Sumpah, tidak adalagi kata-kata yang dapat kugunakan untuk membela diri.

Lagi-lagi aku menggunakan jawaban pamungkas. “Saya harus menyelesaikan kuliah terlebih dahulu, Wan”.

Begitulah kira-kira cerita singkat ketika aku sedang berada di tanah kelahiran, Takengon, selama sebulan lebih.

Parahnya, saat itu pula banyak gosip beredar, jika Aku akan segera menikah, bahkan lebih fatal, banyak mengatakan aku sudah memiliki istri yang tengah mengandung.

Tapi, aku tetap yakin, aku akan memberikan seorang menantu yang terbaik untuk Ine. Namun bukan untuk saat ini, karena aku memang masih dalam proses belajar, yaitu proses pendewasaan untuk bertanggungjawab.

Doh ine…ine…..

Penulis: Mahlizar Safdi
Editor : Mister X

READMORE