TAHUN PERTAMA DI BIRU HITAM
Di Lingkungan ini, bagi saya, semuanya menjadi lebih baik setelah beberapa bulan, bahkan dengan fans Inter. Saya bukanlah pemain yang memberi kemenangan ( menjadi striker dan dalam imajinasi banyak orang, segalanya tentang goal dan assist ), tapi secara perlahan saya berfikir telah memenangkan hati banyak orang di Inter, terimakasih untuk determinasi dan keteguhan yang saya miliki. Dan mengapa tidak??, terimakasih juga untuk dribble yang saya miliki. Moment terbaik adalah ketika Curva Nord bernyanyi untuk menghormatiku, hingga hari ini :”Tra i Nerazzurri c’e / un giacatore che / dribbla come pele / dai Zanetti ale!” (“ Disana bersama Nerazzurri / seorang pemain / menggiring bola seperti pele / maju terus Zanetti” ). Mungkin disamakan dengan Pele adalah sedikit berlebihan ( untuk setiap orang Argentina, Maradona selalu berada diatas setiap pemain Brasil ), tapi harus saya akui, nyanyian tersebut telah berada di hati saya dan kapan saja curva nord menyanyikan lagu tersebut, selalu membuat saya merinding.
Bila dilihat dari penampilan individu, tahun pertama sebagai Interista tidaklah terlalu jelek. Tapi bila dilihat dari tim, bagaimanapun, semua tidak berjalan dengan baik. Kami berada di peringkat 7, hasil yang sangat buruk bagi Inter, secara sejarah, tim yang selalu mengincar scudetto. Bagaimanapun, itu adalah tahun pertama Moratti memimpin Inter, seperti yang kita tahu, Moratti sedang berencana membangun sebuah tim yang mempunyai kemampuan untuk menghadapi siapa saja.
Setahun kemudian, segalanya menjadi lebih baik. Tim ini menjadi lebih kuat dan bertahan lama di papan atas liga walaupun trophy tidak kunjung datang. Di eropa, bagaimanapun, kami memiliki keyakinan yang besar. Bersama Hodgson, pelatih yang sangat saya kagumi walaupun pernah ada rumor salah yang mengatakan bahwa Hodson dan saya adalah “musuh”, kami bermain dengan sangat baik. Faktanya, kami mendapat tantangan di final UEFA menghadapi wakil Jerman, Schalke 04. Salah satu pertandingan yang meninggalkan penyesalan terbesar didalam hidupku. Kalah 1-0 di jerman, tapi kami menang dengan skor yang sama di San Siro. Ada begitu banyak tembakan ke gawang selama waktu tambahan, tapi skor tetap tidak berubah dan harus dilanjutkan dengan adu pinalti yang dimenangkan oleh wakil dari Jerman. Disamping kecewa karena kalah, bagi saya, luapan emosi datang. Saat itu, saya meminta maaf bila telah bersikap arogan, satu2nya pertandingan yang membuat emosiku meledak, satu2nya pertandingan dimana perilaku saya sedikit berlebihan. Itu adalah pada saat beberapa menit sebelum extra time berakhir, Bola meninggalkan lapangan dan wasit memberi intruksi akan ada pergantian pemain, di garis lapangan terlihat no.4. Pada saat itu, saya tidak bisa membendung rasa marah, selanjutnya, saya terlibat pertengkaran hebat dengan hodgson, saya tidak mengerti kenapa pelatih menggantikan saya dengan memasukkan Nicola Berti ( penendang pinalti yang lebih baik ). Akhirnya, di ruang ganti, saya meminta maaf dan semua masalah diantara kami terselesaikan dengan jabatan tangan.
Kekalahan di final, bagaimanapun, sama seperti menelan pil pahit. Mimpi akan kejayaan di Eropa bersama Inter hilang hanya karena tendangan pinalti. Final itu membuat kami lebih yakin dan membantu kami untuk mengerti Inter sesungguhnya, di tahun selanjutnya, dapat lebih bersuara baik di Italia maupun Eropa. Dan Moratti, musim selanjutnya, mendatangkan seseorang yang pada masa tersebut dianggap pemain terbaik di dunia : Ronaldo.
To be continue..
0 komentar:
Posting Komentar